Arsip | Maret, 2014

KEMBALIKAN INDONESIA KE INDONESIA

22 Mar

Normal
0

false
false
false

EN-SG
X-NONE
X-NONE

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
text-align:justify;
line-height:150%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}

Kembalikan Indonesia Ke Indonesia

 

Indonesia ialah negara kepulauan terbesar didunia yang terdiri dari 13.466 pulau, dengan populasi sekitar sebesar 260 juta jiwa pada tahun 2013. Indonesia juga memiliki berbagai suku bangsa sehingga indonesia kaya akan budaya di dalamnya. Fakta ini tidak bisa disangkal oleh siapapun, namun dibalik kekayaan tersebut justru pemerintah dan bangsa indonesia sangat lemah mematenkan apa yang seharusnya menjadi hak bangsa indonesia.

Seperti halnya kasus kopi gayo dan kopi toraja ternyata sudah dipatenkan oleh pengusaha belanda dan jepang, sehingga petani indonesia  tidak bisa mengekspor kedua jenis komoditas tersebut dengan nama kopi gayo dan toraja. Pengamat ekonomi dan pertanian mengungkapkan, kopi gayo sudah dipatenkan sebagai merek dagang oleh perusahaan multanasional belanda, sedangkan kopi toraja dipatenkan oleh perusahaan asal jepang.

Akibat dari kejadian tersebut petani tidak bisa lagi  memakai merek kopi gayo dan toraja.

Kopi gayo merupakan salah satu komoditas unggulan dari gayo, aceh tengah. Sedangkan kopi toraja berasal dari tanbah toraja, sulawesi tengah. Kopi toraja merupakan salah satu komoditi kopi arabika unggulan asal toraja, kopi toraja memang sudah terkenal sejak masa penjajahan belanda. Oleh karna itu pemerintah harus memperjuangkan agar kedua jenis kopi asli indonesia tersebut tidak dijadikan merek dagang oleh pihak asing dengan mendaftarkan indikasi geografis kedua komoditas itu, tujuan dari medaftarkan indikasi geografis bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap produk yang bersangkutan.

Artinya nama gayo dan toraja itu hanya ada satu-satunya di indonesia, tidak ada didaerah lain. Jadi nama kopi tersebut adalah hak eksklusif masyarakat gayo dan toraja. Bukan hanya kopi saja yang harus didaftarkan menjadi hak paten. Tetapi hasil pertanian, produk olahan dan hasil kerajinan yang berpotensi didaftarkan sebagai produk indikasi geografis agar kejadian tersebut tidak terulang lagi dimasa mendatang.

Bangsa ini seharusnya sudah mulai sadar akan hasil pertanian yang melahirkan pangan dan menopang ketahanan pangan menjadi faktor penentu dalam ketahanan nasional.

Kalau produksi pangan minus dan bergantung kepada negara lain, ketahanan pangan menjadi rapuh dan akhirnya ketahanan nasional pun juga  akan ikut rapuh. Bukan hanya budaya indonesia saja yang harus dipertahankan, tetapi disisi lain indonesia masih mempunyai banyak kekayaan seperti halnya  pertanian yang sangat penting bagi pertumbuhan perekonomian negara ini, Oleh karnanya harus ada perubahan secara mendasar untuk menempatkan pertanian sebagai salah satu kekayaan indonesia yang mutlak.

Dibalik kasus ini ada hikmah dimana semua kalangan harus menjaga dan melestarikan kekayaan indonesia seutuhnya. Masyarakat indonesia harus bangga ketika bangsa lain menyukai hasil kekayaan indonesia ini, secara tidak langsung merekalah yang mempromosikan ke penjuru dunia bahwa indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah, Sehingga dunia mengenal indonesia. Di sisi lain masyarakat pun harus turut berpartisipasi dalam menjaga kekayaan alam indonesia agak tidak diklaim oleh negara lain.

 

Sumber :

http://matarik-allo.blogspot.com/2012/06/jenis-jenis-kopi-di-indonesia.html

http://www.cikopi.com/2010/10/lelang-kopi-pertama-di-indonesia/

 

LAMBANG BUNGA YANG MENJADI LAMBANG PROVINSI

9 Mar

Normal
0

false
false
false

EN-SG
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-language:EN-US;}

LAMBANG BUNGA YANG MENJADI LAMBANG PROVINSI

 

Bunga Melati lambang kesucian nan sederhana apalagi dengan warna putih dan bau harumnya. Karenanya bunga Melati sering dikaitkan dengan berbagai tradisi di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan salah satu spesiesnya yakni Melati Putih ditetapkan sebagai puspa bangsa, satu dari tiga bunga nasional Indonesia.

Melati merupakan sekumpulan tanaman perdu yang dikelompokkan dalam gebus Jasminum. Bunga berbau harum yang menjadi lambang kesucian dan kemurnian ini terdiri atas lebih dari 200-an jenis yang tersebar di seluruh dunia. Beberapa jenis diantaranya telah dibudidayakan manusia.

Di Indonesia, bunga Melati dikenal luas dengan berbagai nama daerah seperti Meulu cut atau Meulu China (Aceh), Menyuru (Banda), Menuh (Bali), Mundu (Bima dan Sumbawa), Melur atau Melor (Gayo dan Batak Karo), Menur, Mlati, atau Melati (Jawa dan Sunda), Malete (Madura), dan Manyora (Timor). Di Inggris bunga ini dikenal sebagai Jasmine, sesuai dengan nama genus bunga ini, Jasminum.

Ciri-ciri dan Jenis Melati. Melati merupakan tanaman perdu, berbatang tegak merayap, dan hidup menahun. Daunnya hijau, berbentuk membulat. Bunganya berukuran kecil, umumnya berwarna putih, berbau harum dengan mahkota bunga selapis atau menumpuk.

Tanaman dengan aroma wangi dan menjadi lambang kesucian ini berasal dari Asia Selatan dan tersebar hampir di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Tiap spesies memiliki habitat yang berbeda, namun secara umum melati menyukai habitat beriklim tropis pada daerah dataran rendah hingga ketinggian 1.600 meter dpl.

 

Bunga Melati yang sederhana namun wangi

Meski hanya sedikit (sekitar 9 jenis saja) yang biasa dibudidayakan, bunga melati memiliki banyak spesies. Jumlah jenisnya mencapai 200-an spesies yang sebagian besar masih tumbuh meliar di hutan-hutan. Beberapa spesies yang populer di Indonesia diantaranya adalah:

  • Melati Putih, Melati Air (Jasminum sambac)
  • Melati Gambir (Jasminum pubescens)
  • Melati Gambir, Melati Hutan, Star Jasmine (Jasminum multiflora)
  • Melati Raja, King Jasmine (Jasminum rex)

Manfaat, Makna dan Filosofi Melati. Bunga melati mempunya berbagai manfaat mulai sebagai bunga tabur, bahan pembuatan minyak wangi, kosmetika, farmasi, karangan bunga, campuran teh hingga menjadi tanaman obat.

Selain itu bunga melati juga sering menjadi alat pelengkap berbagai tradisi yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia seperti dalam upacara perkawinan.

Eratnya berbagai tradisi di nusantara yang berkaitan dengan bunga melati tidak terlepas dari makna filosofis bunga melati yang melambangkan kesederhanaan. Ini terlihat dari sosok tanaman melati yang sederhana, tumbuh meliar dan mempunyai bunga yang kecil seakan melambangkan kesederhaan.

Warnanya yang putih bersih serta tidak mencolok, bunga ini melambangkan kesucian dan keelokan budi. Bunga Melati mengeluarkan aroma harum yang lembut dan tidak menusuk hidung memberikan makna dan kesan lembut, nyaman, dan tenang. Di samping itu, tumbuhan ini dapat tumbuh dengan mudah tanpa membutuhkan perawatan yang rumit dan berbunga sepanjang tahun.

Karena itu pula tidak mengherankan jika kemudian salah satu jenis bunga melati yaitu Melati Putih (Jasminum sambac) ditetapakan sebagai puspa bangsa, satu dari tiga bunga nasional Indonesia, berdasarkan Kepres Nomor 4 Tahun 1993.

http://alamendah.org/2011/02/12/bunga-melati-lambang-kesucian-nan-sederhana/

 

TOKOH PAHLAWAN NASIONAL TUANKU IMAM BONJOL

9 Mar

Normal
0

false
false
false

EN-SG
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-language:EN-US;}

TOKOH PAHLAWAN NASIONAL TUANKU IMAM BONJOL

 

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 – wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), bernama asli Muhammad Shahab atau Petto Syarif, adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973 .

Tuanku Imam Bonjol dilahirkan di Bonjol, Pasaman, Indonesia pada tahun 1772.Beliau kemudiannya meninggal dunia di Manado, Sulawesi pada 6 November 1864 dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di Khusus Lotak, Minahasa.


Tuanku Imam Bonjol bukanlah seorang Minahasa. Dia berasal dari Sumatera Barat. “Tuanku Imam Bonjol” adalah sebuah gelaran yang diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra. Nama asli Imam Bonjol adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin.

Dia adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan dakwah di Sumatera, yang pada mulanya menentang perjudian, laga ayam, penyalahggunaan dadah, minuman keras, dan tembakau, tetapi kemudian mengadakan penentangan terhadap penjajahan Belandayang memiliki semboyan Gold, Glory, Gospel sehingga mengakibatkan perang Padri (1821-1837).

Mula-mula ia belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian dari beberapa orang ulama lainya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol adalah pengasas negeri Bonjol.

Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.

Golongan adat yang merasa terancam kedudukanya, mendapat bantuan dari Belanda. Namun gerakan pasukan Imam Bonjol yang cukup tangguh sangat membahayakan kedudukan Belanda. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Perjanjian itu disebut “Perjanjian Masang”. Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.

Pertempuran-pertempuran berikutnya tidak banyak bererti, kerena Belanda harus mengumpul kekuatanya terhadap Perang Diponogoro. Tetapi setelah Perang Diponogoro selesai, maka Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menaklukan seluruh Sumatra Barat.

Imam Bonjol dan pasukanya tak mahu menyerah dan dengan gigih membendung kekuatan musuh. Namun Kekuatan Belanda sangat besar, sehingga satu demi satu daerah Imam Bonjol dapat direbut Belanda. Tapi tiga bulan kemudian Bonjol dapat direbut kembali. Ini terjadi pada tahun 1832.

Belanda kembali mengerahkan kekuatan pasukanya yang besar. Tak ketinggalan Gabernor Jeneral Van den Bosch ikut memimpin serangan ke atas Bonjol. Namun ia gagal. Ia mengajak Imam Bonjol berdamai dengan maklumat “Palakat Panjang”, Tapi Tuanku Imam curiga.

Untuk waktu-wakyu selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia tak mahukan untuk berdamai dengan Belanda.Tiga kali Belanda mengganti panglima perangnya untuk merebut Bonjol, sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat. Setelah tiga tahun dikepung, barulah Bonjol dapat dikuasai, iaitu pada tanggal 16 Ogos 1837.

Pada tahun 1837, desa Imam Bonjol berjaya diambil alih oleh Belanda, dan Imam Bonjol akhirnya menyerah kalah. Dia kemudian diasingkan di beberapa tempat, dan pada akhirnya dibawa ke Minahasa. Dia diakui sebagai pahlawan nasional.

Sebuah bangunan berciri khas Sumatera melindungi makam Imam Bonjol. Sebuah relief menggambarkan Imam Bonjol dalam perang Padri menghiasi salah satu dinding. Di samping bangunan ini adalah rumah asli tempat Imam Bonjol tinggal selama pengasingannya

Riwayat Perjuangan

Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena “diundang” kaum Adat.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Gubernur Jendral Johannes van den Bosch pernah mengajak Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang”, karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri . Bersatunya kaum Adat dan kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur’an)).

Dalam MTIB, terefleksi ada rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. Tuanku Imam Bonjol sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), ungkap Tuanku Imam Bonjol seperti tertulis dalam MTIB (hal 39).

Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) juga dapat menjadi apresiasinya akan kepahlawanannya menentang penjajahan[3]. — seperti rinci dilaporkan G. Teitler yang berjudul Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837.

Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian depan menyerang pertahanan Paderi.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.

http://www.gudangmateri.com/2010/01/biografi-tuanku-imam-bonjol.html

 

TOKOH WAYANG GOLEK

9 Mar

Normal
0

false
false
false

EN-SG
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-language:EN-US;}

TOKOH WAYANG GOLEK

Wayang Golek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang di daerah Jawa Barat. Daerah penyebarannya terbentang luas dari Cirebon di sebelah timur sampai wilayah Banten di sebelah barat, bahkan di daerah Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Barat sering pula dipertunjukkan pergelaran Wayang Golek.

Yang dimaksud dengan wayang golek purwa dalam tulisan ini adalah pertunjukan boneka (golek) wayang yang cerita pokoknya bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana. Istilah purwa mengacu pada pakem pedalangan gaya Jawa Barat dan juga Surakarta yang bersumber pada Serat Pustaka Raja Purwa karya R Ng. Ranggowarsito. Beliau berhasil mengolah cerita-cerita yang bersumber dari kebudayaan India yang dialkulturasikan dengan kebudayaan asli Indonesia. Golek Sunda adalah seni pertunjukan tradisi yang berkembang di tanah Sunda, Jawa Barat. Berbeda dengan wayang kulit yang dua dimensi, boneka wayang golek adalah salah satu jenis wayang trimatra atau tiga dimensi.

Menurut C.M Pleyte, bahwa masyarakat di Jawa Barat mulai mengenal wayang pada tahun 1455 Saka atau 1533 Masehi dalam Prasasti Batutulis. Pada abad 16 dalam naskah Ceritera Parahyangan juga disebutkan berulang-ulang kata-kata Sang Pandawa Ring / Kuningan.

Pendapat lain yang berkenaan dengan penyebaran wayang di Jawa Barat adalah pada masa pemerintahan Raden Patah dari Kerajaan Demak, kemudian disebarluaskan para Wali Sanga. Termasuk Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1568 memegang kendali pemerintahan di Kasultanan Cirebon. Beliau memanfaatkan pergelaran wayang kulit sebagai media dakwah untuk penyebaran agama Islam. Baru sekitar tahun 1584 Masehi salah satu Sunan dari Dewan Wali Sanga yang menciptakan Wayang Golek, tidak lain adalah Sunan Kudus yang menciptakan Wayang Golek Pertama.

Pada waktu kabupaten-kabupaten di Jawa Barat ada di bawah pemerintahan Mataram, ketika jaman pemerintahan Sultan Agung (1601-1635), mereka yang menggemari seni pewayangan lebih meningkat lagi dalam penyebarannya, ditambah lagi banyaknya kaum bangsawan Sunda yang datang ke Mataram untuk mempelajari bahasa Jawa dalam konteks kepentingan pemerintahan, dalam penyebarannya wayang golek dengan adanya kebebasan pemakaian bahasa masing-masing, seni pewayangan lebih berkembang, dan menjangkau hampir seluruh Jawa Barat.

Menurut penjelasan Dr.Th. Pigeaud, bahwa salah seorang bupati Sumedang mendapat gagasan untuk membuat wayang golek yang bentuknya meniru wayang kulit seperti dalam cerita Ramayana dan Mahabharata. Perubahan bentuk wayang kulit menjadi golek secara berangsur-angsur, hal itu terjadi pada sekitar abad ke 18-19. Penemuan ini diperkuat dengan adanya berita, bahwa pada abad ke-18 tahun 1794-1829 Dalem Bupati Bandung (Karanganyar), menugaskan Ki Darman, seorang juru wayang kulit asal Tegal Jawa Tengah, yang bertempat tinggal di Cibiru, Jawa Barat, untuk membuat bentuk golek purwa. Pada abad ke-20 mengalami perubahan-perubahan bentuk wayang golek, semakin menjadi baik dan sempurna, seperti wayang golek yang kita ketemukan sekarang ini. Wayang golek yang seperti ini kita sebut Wayang Golek Purwa Sunda..

Dalam perjalanan sejarahnya, pergelaran wayang golek mula-mula dilaksanakan oleh kaum bangsawan. Terutama peran penguasa terutama para bupati di Jawa Barat, mempunyai pengaruh besar terhadap berkembangnya wayang golek tersebut. Pada awalnya pertunjukan wayang golek diselenggarakan oleh para priyayi (kaum bangsawan Sunda) dilingkungan Istana atau Kabupaten untuk kepentingan pribadi maupun untuk keperluan umum.

Fungsi pertunjukan wayang tersebut bergantung pada permintaan, terutama para bangsawan pada waktu itu. Pergelaran tersebut untuk keperluan ritual khusus atau dalam rangka tontonan/hiburan. Pertunjukan wayang golek yang sifatnya ritual, walupun ada tetapi sudah jarang sekali di pentaskan. Misalnya upacara sedekah laut dan sedekah bumi, setiap tahun sekali. Pementasan yang masih semarak adalah pertunjukan wayang golek untuk keperluan tontonan. Biasanya diselenggerakan untuk keperluan memperingati hari jadi kabupaten, HUT Kemerdekaan RI, Syukuran dan lain sebagainya. Walaupun demikian, bukan berarti esensi yang mengandung nilai tuntunan dalam pertunjukan wayang golek sudah hilang, tidak demikian halnya.

Hasil wawancara dari beberapa tokoh wayang, misalnya Bp.Barnas Sumantri (Jakarta), Tjetjep Supriyadi (Karawang), Endin Somawijaya (Sukabumi), Dede Amung (Bandung), memberitakan bahwa sejak tahun 60-an sampai tahun 70-an, fungsi nilai tuntunan masih bisa diterima khalayak penonton. Awal tahun 70-an mulai ada pertunjukan dengan menghadirkan bintang pesinden/juru kawih yang terkenal, bahkan ketenarannya melebihi dalangnya. Akhirnya pergelaran itu bisa diterima masyarakat, dan banyak seniman lain yang menirunya, meskipun sebagian dari mereka belum bisa menerima pembaharuan tersebut. Dari masyarakat, khususnya para seniman wayang (dalang, niyaga, pesinden), sejak itu mereka mulai mengadakan eksplorasi pertunjukan yang mengedepankan visualisasi tontonan dan hiburan. Maka tidak mengherankan bila pada waktu itu, sudah ada pertunjukan wayang golek yang mendatangkan tari Jaipong yang menari di atas panggung. Itulah barangkali yang membuat esensi dari wayang tersebut kurang begitu seimbang antara konsep wadah dan isi.

Bagi seniman wayang yang masih tetap mempertahankan nilai tuntunan, mereka tetap ingin berupaya mengembangkan daya kreatifitasnya melalui keseimbangan antara garap tuntunan dan tontonan. Wadah, perangkat kasar, meliputi penggarapan unsur-unsur pedalangan (penggarapan tokoh, lakon, alur, sastera pedalangan, sabet, iringan dll). Isi adalah penggarapan esensi atau rohani serta pesan moral yang akan disampaikan.

Kesimpulannya, keberadaan wayang golek dari dulu hingga sekarang memang mengalami perubahan serta pengembangan ke arah modernisasi tanpa mengurangi nilai tradisional, dan esensinya selalu relevan dengan situasi zaman.(Sumanto, Makalah, Konsep wadah dan isi)

Fungsi Wayang Golek di tengah-tengah masyarakat mempunyai kedudukan yang sangat terhormat. Di samping sebagai sarana hiburan yang sehat, ia juga berfungsi sebagai media penerangan dan pendidikan. Baiak itu tentang moralitas, etika, adapt istiadat atau religi. Yang tak kalah pentingnya Wayang Golek itu pun berfungsi sebagai upacara ritual penolak bala, upacara tersebut Ngaruat.

Sampai saat ini Wayang Golek masih tetap digemari oleh masyarakat Jawa Barat, baik tua atau pun muda. Ia masih sering dipergelarkan pada berbagai pesta keramaian seperti khitanan, perkawinan, perayaan hari-hari besar, malam penggalangan dana, sebagai kaul/nazar, atau ngaruat untuk memohon berkah dan keselamatan.

Pada masyarakat pedesaan, Wayang Golek dapat dijadikan alat untuk mengukur status social seseorang. Artinya apabila di kampong mereka ada orang yang menanggap Wayang Golek, apalagi dalangnya ternama, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut dapat dikatagorikan sebagai orang berada.

Sebagai teater, Wayang Golek merupakan seni pertunjukan yang amat komplek sebab di dalamnya terdapat berbagai cabang seni seperti seni rupa, seni sastra, suara, musik dan seni tari. Demikian juga dengan cara penyajiannya, ia tidak cukup hanya dimainkan oleh seorang Dalang tetapi membutuhkan persoalan pendukung yang kadang-kadang melebihi 20 orang.

Persoalan pendukung itu memang mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, namun semuanya tetap harus mendukung Dalang sebagai pusat pertunjukan. Karena itu, dalam pergelaran Wayang Golek semua personal harus menjadi suatu kesatuan yang utuh dan padu agar semua dapat berjalan dengan sempurna.
 

·         Bentuk Wayang Golek

Media utama pergelaran Wayang Golek adalah boneka yang terbuat dari kayu (umumnya jenis kayu yang ringan), ditatah/doukir, dicat, diberi busana dan karakter sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan. Boneka kayu yang menyerupai manusia dengan stilasi disana-sini itu disebut juga Wayang Golek, dengan demikian nama benda peraga dan nama jenis pertunjukannya itu sendiri sama yakni Wayang Golek.

Bentuk/badan wadag Wayang Golek sebenarnya dapat dipisah-pisah menjadi 3 (tiga) bagian yaitu bagian kepala beserta leher, tangan, dan badan. Ketiga bagian tersebut dibuat secara terpisah untuk kemudian disambungkan sehingga bentuknya tampak utuh seperti “manusia”.

Bagian leher dan kepala disambungkan oleh bamboo yang telah diraut kurang lebih sebesar jari kelingking sehingga wayang tersebut dapat menengok ke kiri dank e kanan seperti manusia. Bagian bawah dari bamboo itu diruncingkan, menembus badan wayang sampai ke bawah dan akhirnya berfungsi sebagai kaki yang akan ditancapkan pada batang pisang sehingga dapat berdiri kokoh. Dari bagian pinggang ke bawah dipasang kain yang berbentuk sarung sehingga tangan Dalang yang memegang bambu tadi tidak tampak dari luar.

Bagian tangan dibuat terpisah terutama pada sendi bahu dan sedi siku. Sendi-sendi itu dihubungkan dengan benang/tali sehingga wayang tersebut dapat bergerak menyerupai manusia. Bagian tangan tokoh-tokoh wayang tertentu diberi kelat bahu (hiasan pangkal lengan) atau gelang. Demikian juga pada bagian-bagian tubuh wayang yang penuh dengan manik-manik, anting telinga, badong (hiasan punggung), keris dan sebagainya. Adapun bentuk badan raut wajah, pakaian, hiasan, disesuaikan dengan karakter dan kedudukan tokoh wayang yang bersngkutan.
   

·         Sumber Cerita

Cerita pada pertunjukan Wayang Golek Sunda umumnya bersumber kepada kitab Arjuna Sasrabahu, Ramayana, dan Mahabarata, yaitu kitab-kitab yang berasal dari kebudayaan Hindu di India. Namun cerita yang paling banyak digemari masyarakat adalah Mahabarata, bahkan dari lakon induk ini telah lahir berpuluh-puluh cerita sempalan/carangan yang merupakan hasil kreatifitas para dalang.

·         Musik

Musik yang dipergunakan untuk mengiringi pergelaran Wayang Golek adalah karawitan Sunda yang berlaraskan Pelog/Salendro. Instrumen musik tersebut ditabuh oleh beberapa orang Nayaga atau Juru Gending, adapun alat musik tersebut lengkap adalah sebagai berikut :

          1. Saron 1 Saron 2 – Peking – Demung – Selentem
          2. Bonang – Rincik – Kenong – Gambang
          3. Rebab – Kecrek – Kendang – Bedug

 

·         GONG

Kedudukan musik dalam pergelaran Wayang Golek demikian pentingnya, ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertunjukan itu sendiri. Mulai dari tatalu (overture) kawin/lagu, tari dan perang wayang, dialog, pembangunan suasana, pengisi celah antar adegan, semuanya diiringi dengan musik. Di samping itu, musik itu pun harus disesuaikan dengan karakter-karakter wayang yang diiringinya

Misalnya :

o   Satria Ladak, seperti Narayana, Karna, Salya, Somantri, harus diiringi dengan gending gawil

 

o   Satria Lungguh, seperti Arjuna, Abimanyu, Pandu, Semiaji, diiringi dengan gending banjar Sinom atau Udan Mas

o   Ponggawa, seperti Gatotkaca, Indrajit, Baladewa, biasa diiringi dengan gending bendrong, Waled, dan Macan Ucul.

o   Raja-raja, seperti Kresna diiringi dengan gending Kastawa, Rahwana dengan gending Gonjing atau genggong

 

·         Sinden/Juru Kawih

Sinden atau Pasinden, dalam pergelaran Wayang Golek sering pula disebut Juru Kawin, Juru Sekar, atau Suarawati. Tugasnya adalah melantunkan lagu/kawin untuk mendukung sajian Dalang. Sebagai pendukung, tentu saja Pasinden ini tidak dibenarkan melantunkan lagu semena-mena, ia harus mampu mendukung apa yang sedang dan akan dibawakan oleh Dalang. Misalnya saat Dalang membawakan adegan sedih maka syair (rumpaka) lagunya pun harus bermakna sedih, saat Dalang membawakan adegan romantis maka syairnya pun harus romantis. Demikian juga saat Dalang akan menceritakan adegan di Astina, maka Pasinden ini terlebih dahulu harus mampu memberikan gambaran keadaan Negara Astina kepada penonton melalui syair-syair lagunya.

Bahasa yang digunakan dalang dan bahasa yang digunakan Pasinden jelas berbeda fungsi. Bahasa Dalang fungsinya untuk mengungkapkan cerita, sedangkan bahasa yang digunakan Pasinden untuk memberikan gambaran dan mempertegas lukisan-likisan peristiwa yang dituturkan Dalang.

Pada saat jeda atau pengisi celah antar adegan (saat Dalang istirahat), Pasinden ini biasanya diberi kesempatan untuk membawakan lagu/kawin lepas yang tidak terikat dengan cerita. Sering pula lagu-lagu itu dipesan oleh penonton dengan memberi tips yang tidak ditentukan besar-kecilnya.

Sebuah pergelaran Wayang Golek umumnya memerlukan antara 2-5 orang Pasinden ditambah dengan Alok atau Wirasuara (pria). Semuanya tentu saja dituntut harus memiliki suara yang bagus dengan kepekaan yang tinggi terhadap musik dan karater Dalang

·         Bahasa dan Sastra Pedalangan

Pada dasarnya bahasa/percakapan antar tokoh dalam pergelaran Wayang Golek adalah bahasa daerah, dalam hal ini adalah bahasa Sunda dengan undak-undaknya yang disebut Amardibasa atau tata bahasa. Walaupun demikian, untuk tokoh-tokoh wayang tertentu seperti Bima dan Togog umumnya menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut dilakukan para Dalang untuk memberikan variasi dan karakter pada wayang yang berjumlah ratusan.

Demikian juga dalam penyampaian prolog yang dalam istilah teknisnya disebut Murwa dan Nyanda, pada umumnya para Dalang menggunakan bahasa Jawa Kuno yang dituturkan sambil dinyanyikan dalam lagu tertentu. Prolog ini sebenarnya berisi penuturan yang menggambarkan suasana adegan yang sedang atau akan digarap sang Dalang.

Selain Murwa dan Nyandra, dalam sastra pedalangan dikenal juga Suluk dan Kakawen yang fungsinya untuk menggambarkan suasana dan karater wayang yang sedang ditampilkan. Perbedaan Suluk lebih menitikberatkan kepad bahasanya sedangkan Kakawen kepada karawitannya, terutama tentang melodi. Baik Suluk atau kakawen, keduanya dituturkan/dinyanyikan dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno. Pada perkembangan selanjutnya para Dalang mulai ada yang menggunakan bahasa Sunda, baik untuk Murwa dan Nyandra, atau untuk Suluk dan Kakawen

Dalam menyempaikan lakon/cerita, seorang Dalang tidak dibenarkan menggunakan bahasa yang vulgar dan tidak beraturan. Untuk itu disusunlah rambu-rambu khusus yang disebut Panca Curiga atau Panca S. Lengkapnya Panca S itu adalah Sindir, Silib, Siloka, Simbul dan Sasmita yang mempunyai ari sebagai berikut:
1. Sindir
Adalah kritik-kritik, kecaman-kecaman atau pujian yang di ungkapkan dalam suatu cerita, yang disusun sedemikian rupa sehingga harus serta tidak secara langsung menyinggung hati yang dikritik atau dikecamnya.

2. Silib
Silib adalah suatu penerangan atau nasihat yang diselipkan di dalam suatu tema, babak atau adegan tertentu.

3. Siloka
Siloka adalah kalimat-kalimat yang harus digali kembali bila ingin mengetahui arti yang sesungguhnya.

4. Simbul
Simbul adalah perlambang yang harus dicari atau ditafsirkan sendiri apa makna yang sesungguhnya.

5. Sasmita
Yang dimaksud sasmita adalah isyarat atau pertanda

Hakikatnya Panca Curiga tersebut adalah suatu kesatuan yang utuh dan antara satu sama lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Fungsinya adalah untuk memberikan “batasan” kepada Dalang dan Seniman pendukung Wayang Golek agar dalam mengucapkan kata (langsung), karena hal itu dapat menyinggung orang lain serta menurunkan derajat dan nilai seni pedalangan yang mereka anggap adiluhung.

 

·         Susunan Pengadegan

Yang dimaksud dengan susunan pengadegan disini adalah pola cerita atau Struktur Dramatik. Alur cerita dalam pergelaran Wayang itu tidak begitu penting sehingga kemapanan pola cerita tidak akan rusak karenanya.

Seraca garis besar Susunan Pengadegan itu terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu : Karatonan, Pasebanan, Bebegalan, Karaton lain, Perang Papacal, Gara-gara, Panditaan, Perang Kembang, Perang Barubuh, dan Karatonan.

1. Karatonan
Menceritakan keadaan di keratin Negara lawan (antagonis) yang biasanya sedang menghadapi kesulitan besar. Para Pembesar negeri itu tengah bermusyawarah untuk mencari jalan keluar dari kesulitan, kemudian salah seorang yang hadir mengajukan satu cara. Sang Raja menyetujuinya, kemudian menugaskan para Pembesar untuk menyiapkan diri.

2. Pasebanan
Para pembesar Negara sedang mengadakan persiapan dengan bala tentaranya di Paseban. Mereka mendapat tugas dari rajanya, yang intinya perintah tersebut akan merugikan pihak lain. Rombongan itu pergi menuju Negara lawan dipimpin oleh Senapati andalannya. Pimpinan rombongan biasanya akan mengendarai kuda atau gajah yang akan divisualisasikan Dalang dalam bentuk tarian Jaranan yang menarik

3. Bebegalan
Saat di sebuah hutan, rombongan ini dihadang oleh kawanan Raksasa yang marah karena terganggu ketenteramannya. Perang tak dapat dihindari dan akhirnya Raksasa itu dapat dikalahkan Rombongan melanjutkan perjalanannya.

4. Karaton Lain
Menceritakan keadaan di keratin Negara lain, yaitu keratin tokoh utama/protagonist. Keraton inipun biasanya tengah menghadapi masalah. Misalnya kehilangan pusaka, sakit, mimpi buruk Sang Raja, dan sebagainya. Saat mereka sedang bermusyawarah, tiba-tiba dating pasukan lawan yang membuat kerusuhan.

5. Perang Papacal
Terjadi peperangan “kecil” antara kedua belah pihak Perang ii bias dimenangkan oleh si baik atau si jahat, tapi umumnya si Jahat tersebut dapat melarikan diri dengan membawa apa yang diingininya.

6. Gara-Gara
Gara-gara ini adalah adegan lawak yang dilakukan oleh para Punakawan (Cepot, Dawala, Gareng) untuk menghibur ksatria asuhannya yang sedang berguru di sebuah Patapan. Adegan ini biasanya sangat dinanti-nantikan penonton karena penuh canda dan tawa sehingga dapat menghilangkan rasa kantuk. Setelah lawakan usai, muncullah ksatria (tokoh utama) tersebut dengan Pendita yang menjadi gurunya. Sang Guru memberikan wejangan kepada muridnya. Adegan diakhiri dengan perginya sang tokoh utama diiringi oleh para Punakawan untuk menunaikan Darma Baktinya.

7. Perang Kembang
Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan rombongan lawan sehingga terjadi pertempuran. Dalam pertempuran ini musuh dapat dikalahkan sehingga mereka melarikan diri.

8. Perang Barubuh
Tokoh utamanya mengejar musuh sampai kenegaranya untuk menuntut balas dan menyelematkan apa yang telah dicurinya oleh pihak lawan, maka terjadilah perang besar (adegan klimaks) dan diakhiri dengan kekalahan pihak musuh. Raja musuh tersebut dapat ditawan atau ditewaskan.

9. Karatonan
Seluruh adegan biasanya berakhir di sebuah keratin dengan dihadiri oleh seluruh keluarga tokoh utama. Kesimpulan akhirnya kejahatan akan dikalahkan oleh kebajikan.

·         Waktu dan Tempat Pertunjukan

Wayang Golek Sunda dapat dipertunjukkan siang hari ataupun malam. Hal ini dikarenakan pergelaran tersebut tidak menggunakan kelir seperti halnya pergelaran Wayang Kulit dari Jawa Tengah atau Jawa Timur.

Pertunjukan siang hari biasanya dimulai pukul 09.00 dan berakhir pukul 16.00 WIB, sedangkan pertunjukan malam hari diselenggarakan mulai pukul 21,30 sampai menjelang azan Subuh.

Tempat pertunjukan bias dilaksanakan dimana saja, di dalam ruang tertutup atau di tempat terbuka asal tempat tersebut mampu menampung jumlah pemain dan penontonnya. Baik di dalam ruangan ataupun di tempat terbuka pergelaran wayang golek membutuhkan panggung. Panggung tersebut biasanya lebih tinggi dari pada kedudukan penonton, hal ini dimaksudkan agar para penonton tersebut dapat melihat dengan jelas jalannya pertunjukan.

Di atas panggung dipasang dua batang pohon pisang (gedebog) yang panjangnya kurang-lebih 1,5 meter sebagai area permainan atau untuk menancapkan wayang. Posisi kedua gedebog itu ditinggikan sekitar 80 cm dengan memakai penopang dari kayu yang telah dosediakan. Di kanan-kiri area pertunjukan dipasang pula gedebog dengan posisi yang lebih rendah, fungsinya adalah untuk menancapkan wayang-wayang yang sedang tidak terpakai. Wayang-wayang tersebut dipasang berjajar menurut aturan yang telah baku.